http://akangganteng.blog.teknikindustri.ft.mercubuana.ac.id/ - Pers merupakan salah satu lembaga kemasyarakatan (social instution), yang salah satu fungsinya yaitu untuk mewujudkan masyarakat belajar (mass education). Pers banyak memberi pelajaran kepada masyarakat, antara lain mengenai lingkungan hidup. Berkat adanya pers, masyarakat menjadi semakin memahami berbagai persoalan lingkungan hidup. Baik dalam hal argumentasi, opini dan sikapnya menjadi semakin tanggap, seiring dengan makin meningkatnya kualitas dan kuantitas pemberitaan mengenai lingkungan hidup.
Bagaimanapun, terhadap persoalan hidup, masyarakat harus memiliki sikap, setidaknya mampu mengukapkan pendapatnya. Tingkat kepedulian masyarakat terhadap lingkungan sangat berperan dalam upaya menjaga kelestariannya. Masyarakat yang begitu peduli terhadap lingkungannya, menunjukan rasa memiliki yang tinggi. Jika sikap masyarakat sudah demikian maka control terhadap lingkungan semakin meningkat.
Persoalan lingkungan menyangkut kepentingan seluruh masyarakat. Di negara maju, di mana tingkat pendidikan rata-rata baik, perhatian tehadap lingkungan sangat besar. Apalagi dengan adanya lembaga-lembaga pers yang begitu agresif dan progresif menyiarkan berbagai kasus lingkungan. Selain itu, ilmuwan-ilmuwan yang vokal dan informatif, sangat menunjang dalam meningkatakan pengetahuan dan kesadaran masyarakat mengenai lingkungan. Dengan adanya kerja sama antara ilmuwan atau peniliti dengan pers, maka konsep-konsewp seperti polusi, efek rumah kaca, pemanasan global, dan lain sebagainya bisa dengan mudah dipahami.
Selama ini pers sering menyiarkan berita mengenai polusi udara, pencemaran sungai, kerusakan hutan, sampah, pencemaran laut, dan sebagainya. Berbagai pihak, terutama yang termasuk pengekspolir sumber daya alam, industraiawan dan para pengambil keputusan, banyak yang tersangkut dalam berbagai kasus lingkungan. Untuk itu pers perlu memiliki keberanian dalam mengungkapkannya.
Dalam hal ini, sebuah harian terbit Jakarta menuliskan dalam tajuk rencananya, “Terlebih penting, keberanian disertai dengan argumentasi. Bukan hanya berbicarakeras, tetapi berbicara waras. Dalam kedua-duanya, pers Indonesia masih harus berusaha”.
Sadar lingkungan (darling) kini menjadi topik yang hangat untuk dibicarakan. Pemerintah berbagai kota, bekerja sama dengan warga kota dan pers berusaha membudidayakan darling disertai dengan berbagai slogan yang unik dan has, umpamanya Jakarta dengan BMW (Bersih, Manusiawi, Berbunga), Bandung dengan Berhiber (Bersih, Hijau, Berbunga),dan sebagainya.
Manusia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari lingkungannya, senantiasa berinteraksi setiap saat. Interaksi itu bisa bersifat positif, yakni berperan dalam memantapkan keseimbangan lingkungan, serta yang bersifat negatif, yakni menimbulkan ketidakseimbangan lingkungan.
Dalam hal ini pers sebagai mass education sangat menonjol, yakni melalui penyajian berita, opini atau artikel lain mengenai lingkungan. Dengan kata lain,masyarakat darling akan cepat terwujud jika ditunjang oleh pers darling.
Dewasa ini kesadaran masyarakat akan peranan lingkungan bagi kehidupannya masih rendah. Hal ini terutama disebabkan masih rendahnya tingkat pengetahuan tentang lingkungan. Masyarakat hanya mempersoalkannya jika sudah terkena dampak secara langsung, umpamanya karena adanya kebocoran penyaring debu sebuah pabrik, hingga menimbulkan kekotoran udara, bau tak sedap, dan gangguan pernapasan.
Sebagian kecil masyarakat sudah berani mempermasalahkan kasus lingkungan melalui jalur hukum, hingga sempat di meja hijaukan. Sedangkan jika persoalan lingkungan muncul di lokasi di luar jangkauannya, masyarakat seolah-olah kurang peduli, hingga kasus-kasus penebangan hutan secara liar seringkali tidak terdeteksi. Tak lain karena tidak adanya laporan dari masyarakat.
Di situlah letak budaya sadar lingkungan yang masih lemah. Seolah faktor lingkungan bukan merupakan kebutuhan primer dan esensil. Umpamanya terhadap upaya pemeliharaan kelestarian lingkungan kebanyakan masih bersifat temporer, yakni baru menghangat ketika di komandokannya gerakan tertentu, seperti Opsih (Operasi Bersih), Prokasih (Program Kali Bersih), Pekan Penghijauan dan sebagainya.
Ada kecendrungan berorientasi kepada “slogan”, bukan pada hasil yang diperoleh. Padahal gerakan terhadap pelestarian lingkungan hidup harus dilakukan setiap saat, bahkan dijadikan sebagai budaya yang melekat dalam kehidupan masyarakat.
Dengan demikian, keseriusan pers dalam menyajikan berita dan opini mengenai lingkungan sangat membantu dalam upaya memasyarakatkan sadar lingkungan.
Petengahan bulan Oktober 1990, Prof. Dr. Emil Salim, saat menduduki jabatan Menteri KLH, sempat melontarkan isu yang menarik. Menurutnya kerusakan lingkungan karena pers takut untuk memberitakannya. Lantas isu tersebut mendapat tanggapan luas, baik melalui kolom opini maupun tajuk rencana. Hal tersebut makin menjelaskan, betapa besarnya peranan pers dalam upaya pelestarian lingkungan, sehingga karena “ketakutannya” dalam memberitakan berbagai kasus lingkungan , cukup berpengaruh terhadap tingkat “kerusakan” lingkungan, memang sangat logis juga, mengingat pengaruh pers yang cukup luas baik terhadap masyarakat atau pengambil keputusan.
Dengan tidak diungkapkannya berbagai kasus lingkungan oleh pers, maka masyarakat menjadi tidak tahu. Apalagi jika kasus lingkungan terjadi di tempat terpencil. Dengan adanya “ketidak tahuan” masyarakat mengenai persoalan lingkungan, maka upaya untuk membudayakan darling semakin sulit direalisasikan.
Kondisi saat ini, setelah hampir 13 tahun terjadi reformasi, di mana pers mendapat kebebasan, ternyata kerusakan lingkungan semakin menjadi-jadi. Pers dengan gencar memberitakan berbagai kasus pengrusakan lingkungan, namun di sisi lainnya sebagian masyarakat belum darling. Di sisi lainnya berbagai kasus pelanggaran terhadap lingkungan juga belum banyak yang di-meja-hijau-kan, tampaknya hukum belum ditegakan dengan baik, bahkan terkesan tebang pilih. (Atep Afia).
No comments:
Post a Comment