Thursday, February 20, 2014

Bisnis dan Industri yang Ramah Lingkungan

http://akangganteng.blog.teknikindustri.ft.mercubuana.ac.id/ - Aktivitas bisnis sektor industri umumnya menghasilkan limbah padat atau cair. Pada tahun 1990, dalam rangka program kali bersih (Prokasih) telah dilakukan pengujian terhadap 17 lokasi sepanjang aliran Bengawan Solo. Hasilnya menunjukkan sebagian dari 38 industri yang membuang limbah ke sungai mencemari sampai di ata ambang batas yang telah ditetapkan.
Tingkat BOD (Biological Oxygen Demand) mencapai 6 mgr, sedangkan kandungan bakteri colli mencapai 10 pangkat 7. Ditemukan pula bahwa sumber utama limbah ialah dari industri-indutsri ethanol, bumbu masak, tekstil, batik, obat, pipa besi, seng dan kecap. Kalangan bisnis sektor industri sekitar daerah aliran Bengawan Solo telah diminta untuk menekan pencemaran limbah hingga 50 persen sampai 5 Juni 1990, 75 persen sampai 5 September 1990, dan akhir 1990 penanganan limbah industri harus sesuai dengan ketentuan. Namun hingga tahun 2011 ini pencemaran limbah di Bengawan Solo masih saja terjadi, tak heran karena di sepanjang 600 km sungai tersebut, terdapat lebih dari 100 industri kecil, menengah dan besar. Sungai Musi kadar pencemarannya makin meningkat sejak tahun 1973. Bersamaan dengan tumbuhnya industri-industri baru. Di samping itu sekitar 25 persen dari 320.000 ton limbah rumah tangga dibuang kesungai tersebut. Sampai saat ini tingkat pencemaran di sungai Musi belum melampaui ambang batas, tetapi sejalan dengan rusaknya sistem hidrologi di bagian hulu yang berkaitan dengan debit air, pada musim kemarau kadar limbah melampaui ambang batas. Untuk menekan tingkat pencemaran air Sungai Musi akibat limbah rumah tangga, Pemda Kota Palembang berencana membangun sewerage system (sistem pengendalian limbah). Limbah yang berasal dari rumah tangga terlebih dahulu diolah, kemudianke saluran pembuangan dan akhirnya ke sungai. Dengan system ini air yang masuk sungai sudah dalam kondisi relative bersih. Pembuangan limbah terjadi di aliran sungai lainnya di seluruh Indonesia. Pencemaran tersebut mudah diamati dengan adanya warna hijau, biru sampai kehitam-hitaman dan bau yang menyengat. Untuk menerapakan sanksi yang keras terhadap kalangan bisnis yang berperan dalam pencemaran sungai, pemerintah menghadapi dilema, mengingat jutaan tenaga kerja tergantung pada sektor ini, di samping peranannya yang cukup signifikan dalam ekspor non migas. Lingkungan sekitar industri memiliki daya lenting (resilience) yang terbatas. Dalam kadar tertentu limbah yang masuk ke sungai akan dinetralisir oleh aktivitas fisik, kimia dan mikrobiologi. Tetapi jika kadar limbah telah melampaui ambang batas maka daya lenting sungai akan rusak. Semakin banyak limbah yang masuk maka upaya konservasi dan reklamasi menjadi sulit. Untuk mengatasi pelimbahan sungai oleh industri maka berbagai usaha telah dilaksanakan, baik oleh pemerintah, kalangan bisnis, lembaga swadaya masyarakat (LSM). Program kali bersih telah dilakukan oleh beberapa Pemda Provinsi walaupun hasilnya masih belum memuaskan. Secara umum prosedur pencegahan dan pengendalian pencemaran telah di atur dalam UU No.4 tahun 1982. Kumudian muncul pula UU No. 32 tahun 2009, tentang perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Kalau memperhatikan adanya ketentuan mengenai polluter pay principle (Prinsip pencemar yang membayar) maka sudah sewajarnya setiap kalangan bisnis yang turut mencemari lingkungan, dikenakan kewajiban membayar kerusakan yang ditimbulkan oleh aktivitas bisnisnya yakni sebagai biaya kompensasi dalam upaya pemulihan lingkungan. Untuk mempertahankan efisiensi kerja perusahaan sebaiknya biaya kompensasi pencemaran disalurkan pada perusahaan atau konsultan yang bergerak dalam penanganan pencemaran. Dengan adanya investasi khusus tersebut akan merangsang pemunculan bisnis baru yang bergerak dalam bidang penanganan persoalan lingkungan. Dalam mengatasi limbah industri pada aliran sungai, perusahaan atau konsultan yang menangani pencemaran sungai bisa mempergunakan pengolahan limbah secara biologis, yang dirancang dengan sistem aeraobik, yakni pemanfaatan bakteri pembusuk yang memerlukan oksigen. Cara lainnya yang cukup sesuai untuk iklim tropis ialah sistem anaerobik, dengan mengaktifkan bakteri pembusuk yang tidak memerlukan oksigen. Dalm proses pengolahan tersebut terdapat tiga tahap penting, yaitu pengendapan awal dalm unit bangunan yang disebut imhoff tank, dimana 25-35 persen BOD akan dikurangi. Tahap selanjutnya ialah pembusukan atau anaerobic uplow filter dan pengolahan lumpur. Sudah bisa dipastikan bahwa semua sector bisnis akan berkaitan langsung dengan persoalan lingkungan, baik berskala lokal, nasional bahkan internasional. Kasus pengambilan material sekitar Kepualuan Seribu yang mengakibatkan pulau-pulau tersebut terabrasi dan mengganggu bisnis pariwisata menjadi persoalan lokal. Bencana lumpur Lapindo di Porong, Sidoarjo merupakan masalah lingkungan tingkat nasional, begitu pula bencana tsunami yang terjadi di Aceh, Nias dam Pangandaran. Sedangkan pencemaran minyak di perairan Alaska yang disebabkan tanker Exxon Valdez menjadi persoalan lingkungann skala internasional. Begitu pula kebocoran nuklir di Jepang akibat gempa dan tsunami. Ketersediaan sumberdaya alam yang berkesinambungan atau bertahan lama akan turut menjaga kelestarian dan perkembangan bisnis. Dengan demikian tidak saja karena kewajiban terhadap lingkungan, kepedulian terhadap lingkungan juga merupakan kepentingan untuk pengusaha sendiri. Etika pelestarian lingkungan kini sudah menjadi tekad politik rakyat di negara-negara maju. Setiap bisnis sektor industri yang dalam kegiatan produksinya mencemarkan dan merusak lingkungan, pemasaran produknya ke negara-negara maju akan mendapatkan hambatan ketat.Bagaimanapun, bisnis harus bersahabat dengan lingkungan. (Atep Afia)

No comments:

Post a Comment